Professional Documents
Culture Documents
Para ulama sangat memperhatian shalat sunnah Rawâtib ini. Yang dimaksud dengan
shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah shollallahu 'alaihi
wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada
yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib.1 Syaikh
Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara
kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.2
Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat
memperhatikannya?
Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki peran
penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat wajib
seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit mendapatkan kesempurnaan tersebut,
sehingga Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
سهَا
ُ ْخم
ُ سهَا
ُ ْس ْب ُعهَا سُد
ُ س ُعهَا ُث ْم ُنهَا
ْ ُلتِهِ ت
َ َشرُ ص
ْ ُب لَ ُه إِلّ ع
َ ص ِرفُ َومَا ُك ِت َ إِنّ الرّجُلَ َل َي ْن
ُر ْب ُعهَا ُثُل ُثهَا ِنصْ ُفهَا
Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh
shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya,
seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita
mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang
membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan
tersebut. Dan ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam ,
sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar berikut ini.
ن َبعْدَهَا
ِ ْظ ْهرِ َو َر ْك َع َتي ّ ل ال َ ْش َر َر َكعَاتٍ َر ْك َع َتيْنِ َقبْ َسلّمَ ع َ َعَليْهِ و َ ُّصلّى ال َ ّن ال ّن ِبي ْ ِظتُ م ْ ِحَف
ِصبْحّ لةِ ال َ َل ص َ َْو َر ْك َع َتيْنِ َبعْ َد ا ْل َم ْغ ِربِ فِي َب ْيتِ ِه َو َر ْك َع َتيْنِ َبعْ َد ا ْلعِشَاءِ فِي َب ْيتِهِ َو َر ْك َع َتيْنِ َقب
ن إِذَا
َ سلّمَ فِيهَا حَ ّد َث ْتنِي حَ ْفصَ ُة َأنّ ُه كَا َ َعَليْهِ و
َ ُّصلّى ال َ ّعلَى ال ّن ِبي َ َُوكَا َنتْ سَاعَةً لَ يُدْخَل
ِصلّى َر ْك َع َتيْن َ ُجر ْ َطلَعَ الْف
َ َن ا ْل ُمؤَذّنُ و َ ّأَذ
Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum
Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah
'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi
shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan
dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.4
Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam
Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at,
sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Sya-irazi), dan paling sedikit adalah sepuluh,
sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan
raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada
yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain
sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini
sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan)
darinya.11
Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib
sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah,
dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap
ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.
Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?
Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh
Ibnu 'Utsaimin12, yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh,
empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib,
dan dua raka'at setelah 'Isya`, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga
dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi:
Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan
empat rakaat sebelum Zhuhur.13
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu yang
menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at. Mengenai
hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam
selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar .
. . , dan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum
Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau shollallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga
bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka
beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka
shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau
shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian
'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya".14
Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap
hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum Zhuhur', tidak
bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum
Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua
raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar
dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut.
Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."15
1
Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-
Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372).
2
Syarhul-Mumti' 'ala Zâdil-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al- 'Utsaimin,
Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail, Muassasah Âsâm, Cetakan
Kedua, Tahun 1414 H (3/93).
3
HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah
Qablal-Farâ-idh wa Ba'daha, no. 1199.
4
HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qablal-Zhuhur (no. 1180), dan
Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no.
729).
5
HR al-Bukhari, kitab Jum'at, Bab: Tathawwu' Ba'dal-Maktubah (no. 1120), dan Muslim,
kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
6
HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah
(no. 1200).
7
Syarhul-Mumti' (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372).
8
Ibid.
9
HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab ash-Shalat (no. 428), Abu
Dawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba' Qablal-Zhuhri wa Ba'daha (no. 1269) dan Ibnu
Majah, kitab ash-Shalat was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri
`Arba'an wa Ba'daha `Arba'an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh
Sunan Ibni Majah (1/191).
10
HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ
Jâ-a fil-Arba' Qablal-'Ashr (no. 430), Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-Shalat
Qablal-'Ashr (no. 1271), dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan
Abi Dawud (1/237).
11
Al- Majmu' Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan oleh
muhammad Najîb al-Muthi'i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-'Arabi, Beirut, Cetakan Tahun 1419H
(3/502).
12
Syarhul-Mumti' (4/96).
13
HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum'at, Bab: ar-Rak'ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110).
14
Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah,
Cetakan Kedua, Tahun 1418 H (1/298).
15
Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur-Rahman al-
Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423 H (2/382-383).
16
Syarhul-Mumti' (4/96).