You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses

industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah perselisihan perburuhan/industrial yang timbul antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan merupakan suatu kejadian yang wajar, mengingat berbagai tipe manusia yang bekerja di perusahaan selalu akan berhadapan dengan kebijaksanaan pengusaha/majikan. Di satu pihak kebijaksanaan tersebut mungkin dirasakan sebagai aktivitas yang sangat memuaskan tetapi di lain pihak akan dirasakan sebagai aktivitas yang kurang memuaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, meski bagaimana baiknya suatu hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh pekerja/buruh dan pengusaha/majikan, tetapi masalah perselisihan antara keduanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan. Menyadari akibat-akibat yang akan terjadi di kemudian hari yang dapat merugikan berbagai pihak (pengusaha/majikan, pekerja/buruh, masyarakat dan pemerintah) maka perlu adanya penataan dan pembinaan yang mendasar dengan tujuan untuk meghindarkan dan mencegah sejauh mungkin timbulnya perselisihan perburuhan/ industrial. Makalah ini juga disusun untuk memenuhi Tugas Bahasa Indonesia pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Dasar hukum dalam perselisihan perburuhan/industrial adalah perselisihan perburuhan/industrial perseorangan yaitu tentang pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha/majikan, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta beserta Peraturan Pelaksanaannya (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-04/MEN/1986 tentang tata cara Pemutusan Hubungan Kerja dan penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian). Perselisihan Perburuhan Kolektif yaitu perselisihan antara pengusaha/majikan dengan Serikat Buruh/Pekerja, yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun

1957 tentang Perselisihan Perburuhan/Industrial yang berhubungan dengan Hubungan Kerja dan syarat-syarat Kerja. Dalam penulisan makalah ini sumber data diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Dengan metode kepustakaan ini penulis dapat mengetahui hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang tentang perburuhan.

BAB II PEMBAHASAN A. Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan Perburuhan Terjadinya perselisihan dikarenakan adanya pelanggaran disiplin kerja dan salah pengertian diantara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan, diantaranya: a. Tidak disiplin masuk kerja, yaitu: datang terlambat dan pulang sebelum waktunya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh pengusaha; b. Tidak cakap atau tidak sanggup melaksanakan petunjuk-petunjuk atasan mengenai tugas yang diberikan; c. Menolak melakukan tugas yang dilimpahkan atau menolak melakukan perintah yang wajar sesuai dengan tata tertib dan peraturan perusahaan; d. Melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji, dengan sengaja mengintip kamar, sehingga terganggu ketentraman dan kesenangan tamu yang mengakibatkan kerugian perusahaan; e. Tidak hormat, menghormati, bertindak kasar/congkak atau memperlihatkan sikap yang menjengkelkan dan menentang perintah atasan. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/MEN/1986 tentang: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu, ditentukan sebagai berikut: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu, adalah Kesepakatan Kerja yang berakhir waktunya telah ditetapkan ketika Kesepakatan Kerja itu diadakan, sedangkan untuk Kesepakatan Kerja untuk waktu tidak tertentu, adalah Kesepakatan Kerja yang berakhir waktunya tidak ditentukan/ditetapkan ketika Perjanjian kerja dibuat.1 Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, bahwa Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) haruslah merupakan hubungan kerja yang timbal balik dari kesepakatan kerja itu yang sifatnya sementara, musiman bukan merupakan kegiatan pokok perusahaan, dalam arti kata bersifat hanya untuk menunjang.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/MEN/1986 tentang: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu.

Namun pelaksanaan Kesepakatan Kerja yang ada di perusahaan pekerjaannya bersifat permanen, sehingga bertentangan dengan peraturan yang telah ditentukan, maka oleh Serikat Buruh/Pekerja, sistem kerja yang demikian itu tidak dikehendaki. Data yang diperoleh dari sebuah perusahaan patungan selama tahun 1985 sampai dengan tahun 1986 terjadi kasus perselisihan sebanyak 6 (enam) kali, yang dapat diselesaikan secara Bipartite sebanyak 3 (tiga) kasus dan yang diselesaikan secara Tripartite sebanyak 3 (tiga) kasus dan setiap kasus memakan waktu satu bulan. Adapun kasus-kasus tersebut dapat dirinci sebagai berikut: a) Tidak cakap dan tidak sanggup melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya sebanyak 1 (satu) kasus. b) Pengunduran diri dengan alasan telah habis masa kerjanya kontak sebanyak 3 (tiga) kasus. c) Tidak menghormati, bertindak kasar/congkak menunjukkan sikap tidak baik (menjengkelkan) terhadap atasan sebanyak 2 (dua) kasus. Untuk menghindarkan terjadinya perselisihan yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja ini pengusaha/majikan dan Serikat Pekerja/Buruh telah ditempuh jalan pendekatan ke masing-masing pihak secara kekeluargaan sehingga segala persoalan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat. Perselisihan Perburuhan/Industrial ini sering terjadi dikarenakan di dalam pelaksanaan syarat-syarat kerja yang telah dituangkan dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/Perjanjian Perburuhan (CLA) belum sepenuhnya dihayati dan dilaksanakan, karena masing-masing pihak masih selalu mencari kelemahankelemahan untuk kepentingan individunya sehingga belum sesuai dengan sistem Hubungan Perburuhan/Industrial yang didasari dengan semangat dan jiwa Pancasila diantaranya: 1. Timbulnya itikad yang kurang baik dari pekerja/buruh maupun pengusaha/majikan itu sendiri yang menyimpang dari Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang telah disepakati bersama. 2. Belum dihayati sikap mental dan sikap sosial pelaku proses produksi, barang dan jasa oleh pengusaha/majikan dan pekerja/ buruh.

3. Kurang keterbukaan dari pihak pekerja/buruh maupun pengusaha/majikan, saling curiga mencurigai, cara-cara memaksa kehendak baik melalui intimidasi bersifat fisik maupun fisiologis dan cara-cara yang tidak sesuai dengan kehidupan Hubungan Perburuhan/Industrial Pancasila dewasa ini. 2 Salah satu pedoman sebagai ukuran untuk menentukan kebijaksanaan atau langkah-langkah yang tepat bagi pengusaha/majikan dan Serikat Pekerja/Buruh di dalam mencegah timbulnya perselisihan perburuhan yakni dengan menerapkan pola umum Pelita Keempat, yang berkenaan dengan arah dan kebijaksanaan pembangunan di segala bidang khususnya di bidang ketenagakerjaan dalam GarisGaris Besar Haluan Negara diatur sebagai berikut: Pembinaan hubungan perburuhan perlu diarahkan kepada terciptanya kerja sama yang serasi antara buruh/pekerja dan pengusaha yang dijiwai oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dimana masing-masing pihak saling menghormati, saling membutuhkan, saling mengerti peranan serta hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dalam keseluruhan proses produksi, serta dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam rangka meningkatkan kelancaran, efisiensi dan kelangsungan hidup perusahaan, pengusaha perlu menjamin pemberian imbalan yang layak secara kemanusiaan dan sesuai dengan sumbangan jasa yang dihasilkan oleh buruh/pekerja. Di samping itu pengusaha wajib memperhatikan peningkatan kesejahteraan para buruh/pekerja berdasarkan kemampuan dan sesuai dengan kemajuan yang dicapai perusahaan. Perusahaan juga berkewajiban bersamasama dengan Serikat Pekerja/Buruh, disamping Tugas Serikat Pekerja/Buruh memperhatikan nasib Pekerja/Buruh, mengusahakan agar Pekerja/Buruh memiliki kesadaran dalam turut bertanggung jawab atas kelancaran, kemajuan dan kelangsungan hidup perusahaan. Pemerintah mengusahakan terciptanya dan tetap terbinanya hubungan yang serasi antara pengusaha dan Pekerja/Buruh, yang akan lebih mendorong tercapainya kelancaran efisiensi serta kelangsungan hidup perusahaan dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan kesejahteraan buruh dalam perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan perusahaan.3

Hartono Widodo dan Judiatoro, Segi Hukum, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal.125. 3 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, cetakan kesebelas, (Jakarta : Djambtan, 1995), hal. 261.

Dengan uraian ini jelas bahwa kebijaksanaan ketenagakerjaan diarahkan kepada penyaluran, penyebaran dan pemanfaatan tenaga kerja yang lebih baik dengan hal pembinaan untuk data menciptakan kerja sama yang serasi, sehingga masing-masing pihak mengerti peranannya serta hak dalam melaksanakan kewajiban yang memiliki kesadaran dan turut bertanggung jawab atas kelancaran, kemajuan dan kelangsungan hidup perusahaan. B. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Seperti telah diuraikan di atas, bahwa perselisihan perburuhan/ industrial dapat dibagi menjadi dua, yakni: a. Perselisihan perburuhan perorangan yaitu pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha/majikan, yang diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta beserta peraturan pelaksanannya. b. Perselisihan Perburuhan Kolektif adalah perselisihan antara Serikat Pekerja/Buruh dengan Pengusaha/Majikan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 4 Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan/Industrial menurut Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 1108/MEN/1986 tentang adalah sebagai berikut: 1. Tingkat Perusahaan a) Keluh kesah. Apabila terjadi keluh-kesah tentang segala sesuatu mengenai hubungan kerja, maka keluhan-keluhan tersebut disampaikan kepada atasannya, apabila atasannya tidak dapat menyelesaikan dapat diajukan kepada atasan yang lebih tinggi dan apabila atasan yang lebih tinggi tidak bisa pula maka baru dimintakan bantuan Pengurus Serikat Pekerja/Buruh. b) Perselisihan Hubungan Perburuhan/Industrial. Setiap perselisihan hubungan perburuhan/industrial yang terjadi di perusahaan harus dirundingkan secara musyawarah pada Serikat Pekerja/Buruh dengan pengusaha/majikan
4

sebagai

awal

penyelesaian,

tetapi

apabila

Padmo Wahjono, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Grafikatama Jaya Nusa Offset, 1987), hal. 282.

perundingan di tingkat perusahaan tidak memberikan hasil maka satusatunya pihak atau kedua-duanya dapat memberitahukan kepada Kantor Depnaker. c) Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam rencana PHK, harus dirundingkan oleh Pengusaha/Majikan dengan Serikat Pekerja/Buruh atau dengan pekerja/buruh itu sendiri jika perusahaan belum ada Serikat Pekerja/Buruh. 2. Tingkat Pegawai Perantara; Bila perusahaan telah melaksanakan perundingan tidak membawa hasil maka dapat menyerahkan perselisihannya ke Kantor Depnaker setempat. Apabila Kantor Depnaker telah menerima pemberitahuan dari perusahaan, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari sudah melakukan pemerantaraan dan proses pemerantaraan tersebut harus selesai dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Apabila pegawai perantara tidak membawa hasil, maka berkas perkara segera disampaikan kepada Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dan hasil pemerantaraan oleh Kanwil disampaikan kepada P-4 Daerah dalam hal pemutusan hubungan kerja perseorangan dan disampaikan ke P-4 Pusat dalam hal pemutusan hubungan kerja massal (10 orang lebih). Dalam penyampaian laporan harus dibuat berita acara yang memuat: a) Anjuran disampaikan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berselisih. b) Laporan berita acara dibuat secara lengkap dalam suatu formulir yang telah ditentukan, sehingga dapat memberi gambaran dengan jelas dari materi kasus yang terjadi kepada Kantor Wilayah.

3.

Tingkat P-4 Daerah (Panitia Penyelesaian Perselisihan Daerah)

P-4

Daerah

menyelesaikan

perkara

perselisihan

perburuhan/industrial yang diajukan oleh Pengusaha/Majikan/ kuasanya atau oleh Unit Kerja, P-4 Daerah baru menyelesaikan perkaranya apabila ada permohonan izin PHK dari pengusaha dan pelaksanaannya sesuai dengan Permen: 04/MEN/1986, disertai bukti perundingan perantaraan oleh Depnaker Setempat. 4. Tingkat P-4 Pusat (Panitia (P-4 Banding Penyelesaian Pusat) yang pada Perselisihan prinsipnya oleh

Perburuhan Pusat) Penyelesaian menyelesaikan kasus Perselisihan tingkat diajukan

pengusaha/kuasanya atau oleh Serikat Pekerja/Buruh dari hasil keputusan yang diperoleh dari P-4 Daerah, maka pada prinsipnya P-4 Pusat menyelesaikan perkara berdasarkan prioritas objek dengan memperhatikan kelengkapan data, kasus-kasus yang mendesak menurut penilaian Ketua dan/atau anggota P-4 Pusat atau petunjuk Dirjen Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja serta kasus PHK secara massal yang telah diselesaikan dengan persetujuan bersama harus dimintakan pengesahannya ke P-4 Pusat, juga menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang No. 12 tahun 1964 dan Permen: 04/MEN/1986, dalam prosedur pemutusan hubungan kerja massal dengan alasan mangkir tetap dijatuhkan ke-P4 Pusat. 5. Penundaan/Pembatalan Pelaksanaan Pemutusan P-4 Pusat Sebagai bahan masukan untuk penundaan/pembatalah pelaksanaan P-4 Pusat, selain mendengar pendapat-pendapat/saran dari Menteri, maka Menaker dapat pula mendengar pendapat Ketua P-4 Pusat dan apabila perlu Lembaga Tripartite Nasional.

6.

Eksekusi dan Penyitaan

Mengingat proses pengujian eksekusi dirasakan berat bagi pekerja/buruh, maka Depnaker membantu menanggulangi permasalahan ini sesuai dengan Pasal 26 jo pasal 30 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 dan dalam hal keputusan Pengadilan eksekusi terikat di dalamnya masalah penyitaan pekerja/buruh (Serikat Pekerja/Buruh) dapat meminta kepada pegawai Pengawas Depnaker berperan aktif dalam membantu pelaksanaannya dan dalam pelaksanaan Putusan oleh Pegawai Pengawas sesuai dengan pasal 26 jo pasal 30 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tersebut pegawai pengawas wajib melaksanakan tugasnya dengan mekanismenya dan tanpa mengganggu adanya pengaduan dari pihak-pihak

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Perselisihan perburuhan yang timbul marak akhir-akhir ini di Indonesia disebakan kurangnya keterbukaan para pengusaha untuk memberitahu kepada para karyawannya/buruh mengenai lingkungan perusahaan-perusahaan dan juga mengenai jam kerja lembur yang diterapkan oleh perusahaan kadang-kadang tidak dibayar, mengenai keselamatan dan kesehatan pada pekerja /buruh juga kurang ditangani dengan serius oleh para pengusaha dan Pemerintah dan juga mengenai UMR (upah minimum regional) yang oleh para pengusaha masih dibayar dibawah UMR tidak sesuai dengan UMR. B. Saran Hendaknya masalah perselisihan perburuhan di Indonesia sekarang ini sudah mulai ditangani dengan serius oleh pemerintah dan sebaliknya perselisihan perburuhan ditangani dengan serius oleh pengusaha sehingga untuk kedepannya tidak akan ada masalah-masalah yang akan timbul. Sebaiknya pemerintah bersikap adil dalam menanggapi keluh kesah karyawan dalam hal pemutusan PHK, karena sering terjadi PHK sepihak yang banyak merugikan pekerja.

10

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Rahmad Budiono, Abdul, Hukum Perburuhan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, cetakan kesebelas, Jakarta: Djambtan, 1995. Widodo, Hartono, dan Judiatoro, Segi Hukum, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1992. Wahjono, Padmo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Grafikatama Jaya Nusa Offset, 1987. B. Peraturan Perundang-undangan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/MEN/1986 tentang: Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu.

11

KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas tulis ini dengan sebaik-baiknya. Penulisan makalah ini tidak lain bertujuan untuk menyelesaikan Tugas Bahasa Indonesia yang diberikan oleh Dosen kepada penulis sebagai Syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester pada Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Dengan tersusunnya tugas ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami, baik berupa saran dan pikiran maupun berupa materi dan saran lainnya. Menyadari bahwa tugas ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya akan menerima dengan senang dan rendah hati atas saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya tugas-tugas saya selanjutnya.

Jakarta, 23 November 2009

Wang Suwandi

i 12

DAFTAR ISI Halaman PRAKATA...................................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................... BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................... BAB II : PEMBAHASAN ....................................................................................................... ....................................................................................................... 3 A. Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan....................................... B. Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.................... BAB III : PENUTUP...................................................................................... A. Kesimpulan .............................................................................. B. Saran......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... LAMPIRAN 3 6 10 10 10 11 i ii 1

13 ii

MASALAH PERSELISIHAN PERBURUHAN DAN TAHAP PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN

Mata Kuliah Bahasa Indonesia Dosen : Dra. Siti Murni

Disusun Oleh: NAMA : Wang Suwandi NIM : 205090219 KELAS : U

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA 2009


14

LAMPIRAN Tugas 1 Tema Tujuan tema Tesis : Perselisihan Perburuhan : Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya perselisihan perburuhan dan proses penyelesaiannya : Masalah perselisihan perburuhan dan tahap penyelesaian perselisihan perburuhan Tema Tujuan tema : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pencabulan. : Untuk mengetahui peranan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam memberikan perlindungan hukum korban terhadap anak korban pencabulan. Tesis : Perlindungan hukum bagi anak korban pencabulan dalam mewujudkan kesejahteraan anak. Tema Tujuan tema : Perkawinan Dibawah Tangan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 : Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perkawinan dibawah tangan terhadap istri dan anak Tesis : Perkawinan dibawah tangan yang sah menimbulkan akibat hukum bagi suami maupun isteri dan dengan adanya anak dalam suatu perkawinan maka timbullah kewajiban masingmasing pihak yaitu hak dan kewajiban anak terhadap orang tua serta hak kewajiban orang tua terhadap anak yang sifatnya timbal balik

15

KERANGKA KARANGAN BAB I : PENDAHULUAN BAB II : PEMBAHASAN A....................................................................................................Seba b-sebab Terjadinya Perselisihan B.....................................................................................................Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan BAB III : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

16

LAMPIRAN

17

You might also like